Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the spidermag-pro domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/artikelb234boke/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Cerita Sex Pengalaman Berhubungan Intim Saat Melakukan Interviu Yang Sangat Hot - Artikel Bokep - Artikel Cerita Seks - Artikel Sex Dewasa - Cerita Dewasa

Cerita Sex Pengalaman Berhubungan Intim Saat Melakukan Interviu Yang Sangat Hot

Cerita Sex Pengalaman Berhubungan Intim Saat Melakukan Interviu Yang Sangat Hot

Cerita Sex Pengalaman Berhubungan Intim Saat Melakukan Interviu Yang Sangat Hot

Comments Off on Cerita Sex Pengalaman Berhubungan Intim Saat Melakukan Interviu Yang Sangat Hot

Awalnya izinkanlah saya untuk mengenalkan diri lebih dulu. Nama saya Ryo, 23 m Bdg (come on chatters, you should know this kode). Saya kuliah dalam suatu fakultas tehnik yang kerap dikatakan sebagai fakultas ekonominya tehnik, karena jumlahnya mata kuliah ekonomi yang bersebaran dalam kurikulumnya, dalam suatu perguruan tinggi yang cukup terkenal di kota ini. Tetapi sukurlah beberapa lalu saya sudah lulus dan diwisuda jadi seorang Insinyur, but for now, I’m only an unemployment.

 

Cersex Pembantu – That’s why I come to this hotel. Tempo hari seorang yang akui namanya Ibu Ratna menghubungi dan mengundangku ini hari untuk meng ikuti sebuah psikotest dari sebuah perusahaan tembakau multinasional yang cukup terkenal di Indonesia (dan beberapa lalu terserang somasi warga karena acara promo sebuah produknya yang cukup “terlalu batasan”). Sesudah memarkirkan mobil di underground, saya mengambil langkah ke arah lobby hotel. Sekilas saya menyaksikan pengunjung hotel yang nikmati breakfast (ataupun lebih persisnya brunch kali yah ?) di coffee shop dan berkeliaran disekitaran lobby. Yah… dibandingkan mereka yang berpembawaan rileks sich, saya cukup rapi. Ah cuek saja lah, yang terpenting percaya diri.

“Maaf Mbak, kalau ruangan rekrutmen di mana yah ?”, bertanya saya ke seorang penerima tamu yang bekerja di front office sekalian mengatakan nama perusahaan itu..
“Oh.., naik saja melalui tangga itu dan belok kanan.”, terangnya sekalian memperlihatkan tangga yang diartikan.
Sesudah berterima kasih, saya juga segera ke arah ruangan rekrutmen. Hmm… masih sepi nih, mahfum agendanya jam 10 pagi dan saat saya melihat arloji saya baru memperlihatkan jam 09.22 WIB. Sesudah isi daftar datang dan ambil formulir data diri, saya menghempas diri dalam suatu sofa empuk di pekarangan ruang itu.

Terbaik Waktu memperlihatkan jam 09.50 WIB saat seorang wanita menyilahkan beberapa peserta untuk masuk ke dalam ruangan test. Sesudah ambil posisi, saya menyaksikan peserta yang lain. Hmm.. ada banyak muka yang saya mengenal karena rekan sekuliah, but now they are my kompetitor. Di muka ruang sudah berdiri dua orang wanita yang selanjutnya mengenalkan diri sebagai mbak Rini dan mbak Tia. Saya menyebutkan mbak karena saya anggap mereka tidak begitu jauh tua dibandingkan saya, meskipun mereka mengenalkan diri panggilan “Ibu”. Ke-2 nya elok, meskipun dalam sudut pandang yang berlainan. Mbak Rini wajahnya tegas condong judes, benar-benar percaya diri dan berkesan suka mendikte seseorang, dan mbak Tia berkesan halus, waspada dan komunikatif. Jika saya menilainya sebagai wanita yang semestinya dipacari (mbak Rini) dan wanita yang semestinya dinikahi (mbak Tia). Hahaha… mungkin cukup aneh penilaian saya ini. Sesudah acara basa-basi resmi, pas jam 10 test diawali.

1 jam 45 menit yang diperlukan mbak Tia untuk membantu dan memantau jalannya psikotest ini, dan mbak Rini entahlah lenyap ke mana. Pas jam 11.45 WIB kita “ditendang” ke luar ruang nikmati coffee break untuk 30 menit selanjutnya dipublikasikan beberapa orang yang lulus psikotest dan hadapi interviu. Dari 200-an pelamar, cuma 40 yang diundang psikotest dan cuma 20 yang diundang interviu, untuk seterusnya terserah berapakah orang yang hendak diterima.

Rupanya nama saya tertera dalam perincian peserta yang lulus psikotest, so I have to stay longer to gabung an interviu. Interviu will be done in english, so I have to prepare myself. But it’s only my first pengalaman, so what the hell…!! Saya berusaha cuek dan santai saja melawannya, sa’bodo teuing lah kata orang sini.

Sekitaran jam 14.45 WIB nama saya disebut untuk masuk ruang interviu. Hhmm…ternyata yang nginterview (eh ini bahasa mana yah ?) saya ialah mbak Tia. Sesudah mengenalkan diri, kita terturut dalam percakapan yang serius tetapi dekat. Berulang-kali ia merayu saya untuk ingin gabung pada perusahaan ini pada seksi produksi di pabrik. Saya sich sebetulnya lebih suka bekerja pada shop floor di pabrik dibanding harus bekerja di dalam kantor management ada di belakang meja dan di muka computer.

Tetapi masalahnya ialah jika pabrik yang berkaitan berada dalam suatu kota di pesisir utara pulau Jawa, sebuah kota sebagai pintu gerbang Jawa Barat pada tetangganya di samping timur. Away from home means ekstra biaya for living, am I right ?Tidak berasa kita bercakap makin dekat. Mbak Tia rupanya betul-betul smart, komunikatif dan sanggup bawa situasi berteman pada sebuah pembicaraan. Tidak bingung rupanya ia ialah alumni fakultas psikologi tahun 1992 pada suatu perguruan tinggi di selatan Jakarta yang populer dengan jaket kuningnya.

“That’s all Ryo, thank you for joining this rekrutmen. We will kontak you in two weeks from now by mail or phone”, kata mbak Tia akhiri perbincangan. “The pleasure is mine.”, jawab saya pendek sekalian kembali ke arah pintu.
“Ryo, why do you look so confident today ? The others don’t look like you.”, mendadak mbak Tia bicara kembali ke saya.
“I just try to be myself, no need to pretend being someone else.”, jawab saya sekalian kebingungan, sebetulnya apa yang sudah saya kerjakan sich
sampai ia memandang saya semacam itu ?
“Cool, I like your model”, ikat mbak Tia kembali
“I like your model too.”, jawab saya (berpura-pura) cuek, “Tia, I like to talk with you, maybe some other day we can talk more.

May I have your number ?”, ikat saya kembali. Asli sudah cuek sekali, tidak ada malu-malunya kembali. Baru sesaat bercakap bersama ia, tetapi mengapa rasanya saya sudah mengenal lama yah ?
Mbak Tia hanya tersenyum dan mdmberikan kartu namanya sekalian minta nomor telephone saya . Karena saya masih pengangguran dan tidak punyai kartu nama, pada akhirnya ia cuma bisa menulisnya di atas kertas catatan kepunyaannya saja. Dan saya pada akhirnya langsung pulang.

Bandung, same day at 18.04 WIB

Saya kembali termenung di indekos di muka computer menyesali kekalahan kesebelasan saya dalam games Championship Manajer 4. Sialan…, serang mati-matian kok justru kalah yah, berpikir saya sekalian melihat statistik permainan. Tiba-tiba….krrriiinngg.., teleponku mengeluarkan bunyi mengagetkanku karena terpasang pada volume penuh. Di LCD terpajang nomor telephone asing (tujuannya tidak ada di memory). Langsung saya jawab, “Hallo…”.
“Hallo…ini Ryo ?”, kedengar sebuah suara wanita di seberang telephone.
“Iya, ini Ryo”, jawab saya. Sesaat saya terusik jaringan telephone yang kemresek, payah nih jaringan 0816 prabayar daerah sini.

Rupanya itu telephone dari mbak Tia. Ia sich ngakunya hanya main-main saja nge-check nomor saya. Sesudah bercakap sesaat, saya tanya, “Mbak, banyak pekerjaan tidak ?”.
“Mengapa tanya, ingin ngajak jalanan yah ?”, jawab mbak Tia diikuti suara tertawanya yang sangat ramah.
“Bisa.., siapa takutt..?”, balas saya sekalian senyuman main-main (untung ia tidak dapat saksikan senyuman saya).
“Tidak kok sudah usai semua, free as a bird.”, ucapnya kembali sekalian mencuplik sebuah judul lagu The Beatles (atau John Lennon ? ah sa’bodo teuing lah).

Pada akhirnya kita setuju untuk jalanan (but no business talks allowed, kata mbak Tia). Waktu memperlihatkan jam 19.15 WIB saat saya memarkirkan bokong saya di atas sofa di lobby hotel yang masih sama. Ah…masak dalam satu hari ke hotel ini sampai 2x, pikirku. Baru sesaat saya duduk, kelihatan figur mbak Tia jalan ke penerima tamu untuk memercayakan kuncinya dan menyaksikan sekitar lobby untuk mencariku. Saya cukup mengangkat tangan untuk beritahukan posisi saya duduk untuk selanjutnya bangun berdiri dan berlahan mendatanginya. Baju putih berbunga-bunga kecil warna ungu kelihatan cocok dengan opsi celana panjangnya yang warna ungu.

Wah…aliran “matching”-isme nih, pikirku. “Hi mbak, look so nice”, kata saya sekalian sedikit beri pujian performanya yang “out of mind” tersebut.
“Thanks, you too”, jawabannya kembali sekalian tersenyum. Tetapi ini kali kesan-kesan senyumannya jauh dari sah, seperti senyuman ke seorang rekan lama.

Kita segera pergi. Karena mbak Tia minta tidak untuk “makan berat”, pada akhirnya saya membawa ke LV cafe, sebuah restoran dengan city view yang baik sekali di bilangan dago ahli. Kalau sudah malem, terlihat cantiknya beragam warna lampu kota Bandung dari sana. Many times I’ve been there, but still never get bored.

Temaramnya sinar lampu restoran, jilatan lidah api dari lilin di atas meja dan kerlap-kerlipnya lampu kota Bandung di bawah sana tidak sanggup tutupi kecantikan yang memancar dari Tia, wanita yang baru saya mengenal dalam beberapa saat saja. Kalau disaksikan dari face-nya sich tidak cantik-cantik sekali, tetapi stylenya yang sangat ramah, wacananya yang luas dan obrolannya yang kuasai beberapa hal, membuat performanya demikian chic dan smart. Dibanding dengan cewek cakep dan seksi dan sanggup mengeksplorasi performanya seoptimal mungkin, tetapi kalau dibawa bicara tidak pernah menyambung dan otaknya didalamnya hanya kosmetik sama sale pakaian atau faktory toko doank sich jauh sekali bagusan Tia ke mana saja. Dasarnya smart-lah, saya menjadi terpikir Ira Koesno, seorang pembawa acara TV favorite saya, yang meskipun tidak begitu elok tetapi sanggup menarik karena stylenya yang smart tersebut.

Mbak Tia (dan kesempatan kali ini ia meminta saya cukup panggilnya dengan menyebutkan namanya saja, tanpa embel-embel mbak di depannya) pesan lasagna, agar tidak terlampau kenyang ucapnya.
Rupanya city view Bandung masih kalah dari view yang terdapat di muka saya sekarang ini. Asyik sekali menyaksikan Tia nikmati dikit demi sedikit makanannya. Ada sesuatu peristiwa yang baik sekali saat mendadak ia mendangak, mengibaskan rambut sebahunya dan melihat saya sekalian berbicara, ” Lho kok justru tidak makan ?”.
Hhhmmm….. asli sumpah bagus sekali angle-nya. Saya sebelumnya pernah turut aktivitas photografi waktu di kursi sekolah dahulu, so mungkin berikut yang disebutkan angle terbaik. Ada sesaat (mungkin sepersekian detik) di mana seorang bisa kelihatan benar-benar ganteng atau benar-benar elok dan saya baru menikmatinya beberapa menit lalu. “Heh..kok justru bengong ?”, Tia membubarkan lamunan saya saat itu juga.

“Ah tidak kok, hanya kembali inget-inget saja barusan simpan kunci kos di mana ?”, jawab saya sekalian coba bohong. Kalau ia sampai tahu saya kagum pada panorama mengenai ia, wah dapat menjadi tidak sedap situasinya.
“Ooohhh….” , sahutnya pendek, entahlah tahu saya bohong atau mungkin tidak. Terang-terangan saya selalu agak takut hadapi alumni-alumni fakultas psikologi, takut-takut pikiran saya dapat dibaca mereka, hahahaha…..

Lantas kita terturut pembicaraan yang hangat sekalian nikmati makanan. Ada banyak segi baru yang saya mengenal dari Tia malam tersebut. Desember kelak umurnya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992. Anak ke-2 dari 3 bersaudara, kakak wanitanya telah menikah dan ada di Jakarta, dan adik lelakinya sedang kuliah dalam suatu PTS yang terkenal di bilangan Grogol, Jakarta dan populer saat perjuangan reformasi mahasiswa medio 1998 kemarin.

Ia sebelumnya pernah nyaris menikah di awal tahun ini, tetapi suatu hal terjadi (Tia mengistilahkan dengan something happened in the way to heaven, sama persis judul lagunya Led Zeppelin 20-an tahun yang lalu), pacarnya rupanya menikah dengan wanita yang lain telanjur dihamilinya. Tia mengatakan tersebut risikonya berpacaran jarak jauh, rupanya seorang sanggup gantikan tempatnya di hati pacarnya yang bekerja di kota itu. Ah…manusia, narasi mengenai kehidupan mereka benar-benar sangat berbagai ragam.

“That’s why Ryo, ’till now I still can’t kepercayaan men”, Tia berbicara dengan pandangan kosong ke kerlap- kerlip lampu kota Bandung. Ia katakan pria itu seperti kucing, sudah disayang-sayang masih tetap saja nyolong, hahahaha…. lucu istilahnya. Saya hanya dapat bela golongan saya sedapatnya. Agar bagaimana juga sepertinya tidak semua cowok itu seperti kucing dech, salah satunya justru lebih serupa serigala,
hahahahaha.. …

Lama-lama kita bercakap, semakin bertambah beberapa sisi yang lain saya mengenal dari Tia. Bahkan saat ini ia belum juga memahami apa sebetulnya yang berada di otak pacarnya dulu saat meninggalkan, walau sebenarnya we had a perfect life, ucapnya. Saya anggap anak psikologi tahu semua jawaban mengenai masalah perasaan dan pikiran manusia, rupanya tidak tuch. Ia katakan sich tidak semua dokter dapat nyembuhin sakitnya sendiri dan tidak semua pilot dapat terbang. Yang paling akhir inilah dapat membuat saya ngakak sekali.

“So Ryo, why are you still alone ’till now ?”, mendadak Tia mengganti topik perbincangan. Lho kok… justru bicarakan saya saat ini ?
“Ah tidak ada yang ingin sama saya, hehehe…”, jawab saya sekenanya sekalian bergurau.
“Boong sekali, ingin tinggi-in kualitas yah ?”, todong Tia.
“Hahaha kedapatan dech saya”, jawab saya kembali sekalian cengar-cengir.
“Bisa Tia bicara mengenai penilaian Tia ke kamu ?”, ucapnya mendadak.
“Berlagak, silahkan, mangga….”.

Itil V3
Dan mulai Tia mengungkapkan penilaiannya mengenai saya. Yang membuat saya terkejut rupanya ia dapat tahu beberapa pikiran saya yang hanya berada di hati, bahkan juga tidak berada di otak sekalinya. Ia katakan kalau dibalik performa saya yang selalu ketawa dan bergurau terus-terusan, sempat ada suatu hal yang mencederai saya di masa silam, dan itu memungkinkan terkait sama wanita, ingat sampai saat ini saya masih sendiri. Ah….saya menjadi terpikir masa silam saya yang sukses diterka tepat oleh Tia (ucapnya segampang membaca buku yang terbuka, sialan…..! !!). Di mana saat ini beradanya sang “love of my life” itu, sejumlah wanita sempat memang menggantinya, tetapi tidak ada yang betul-betul dapat “menggantinya” , hehehe….kok menjadi sentimentil begini, ini kan CCS. Hahahaha….

Untuk sesaat saya termenung, tidak tahu sebetulnya apa yang saya sedang pikirkan. Apa pikiran saya kembali berada di masa silam atau tengah kagum pada sosok wanita yang duduk pas di depanku. Pada akhirnya saya cuma melempar pandangan melihat berkilaunya kota Bandung di bawah sana.

…..and baby I…, I’ve tried to forget you
but the light on your eyes still….
shine…., you shine like an angel
spirit that won’t let me go….

Lagu Angel yang dinyanyikan Jon Secada semakin menghanyutkan saya dalam lamunan. Sampai akhirnya…, “Bagus yah Ryo, panoramanya…”, tegur Tia membubarkan pikiran kosongku.
“Yap, saya selalu sukai city wiew semacam ini”, jawab saya sekenanya, agar tidak disangka ngelamun.

Malam makin terlarut saat kita memilih untuk kembali lagi ke hotel. Kita semakin dekat keduanya, sama-sama sharing sepanjang perjalanan di mobil. Bergurau, ketawa-an bersama. Why do I perasaan that everything seems so right when we’re together? Ah mungkin saya saja yang terlampau terikut situasi.

Waktu memperlihatkan sekitaran jam 11 malam saat kita memijakkan lagi kaki di lobby hotel. “Ryo, ingin nemenin bercakap sesaat tidak ?”, bertanya Tia mendadak.
“Bisa saja, memang belum mengantuk?”, tanyaku kembali.
“Tidak, apalagi jika di lokasi yang asing Tia menjadi sulit tidur.”, ucapnya memberikan reasoning.

Pada akhirnya saya turut melangkah kaki ke kamar Tia yang berada di lantai 4. Sebuah kamar standard dengan 2 singgel bed, TV, kulkas dan perlengkapan standard seperti sebuah kamar hotel berkelas. Good enough, dibanding indekostku, hehehehe….
“Lha kamu sendiri di sini ?”, bertanya saya demikian menyaksikan tidak seorang juga di kamarnya.
“Sebenernya kamar ini untuk berdua, dengan Rini, itu lho tadi pagi turut test “, terangnya, “Tetapi ia segera pulang Jakarta pakai kereta paling akhir barusan sore, ucapnya esok ingin ada acara apa begitu di keluarganya”.

Kita mengolah air dengan memakai ketel elektrik yang disiapkan hotel untuk selanjutnya masing-masing nikmati satu cangkir coffemix panas. Bangku menyengaja kita membalikin menghadap ke jendela, untuk melihat Jalan Tamblong yang sudah temaram dan senyap. Kadang-kadang kelihatan mobil lewat dengan kecepatan di atas rerata, karena mungkin telah malam. Begitu juga situasi di dalam kamar ini, cuma suara MTV Asia dari TV yang dihidupkan yang temani pembicaraan kita, gantikan sinar lampu yang kami memang padamkan. Entahlah kenapa, saya merasakan demikian dekat sama Tia, walau sebenarnya baru beberapa saat kita kenalan. Ah satu kali lagi, mungkin saya terlampau terikut situasi….

Tetapi ini kali rupanya Tia yang duduk di samping saya bukan seperti Tia yang saya mengenal dalam beberapa jam sebelumnya. Dalam curhatnya, dia kelihatan benar-benar ringkih. Entahlah memang nasib saya untuk sering jadi tempat sharing seseorang. Sejak dahulu saat di kursi sekolah sampai sekarang sesudah menamatkan pendidikan tinggi, saya selalu jadi tempat sharing beberapa orang dalam lingkaran paling dekat saya. Dan sekarang saya harus hadapi Tia yang kadang-kadang sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya dan hapus air matanya yang mulai jatuh satu-satu. Love…, look what you have done to her, bastard…!!

Saya bangun dari duduk dan jalan perlahan-lahan mendatanginya. Saya cuma dapat tercenung berdiri di sebelahnya dan menyaksikan ke luar untuk menantinya menuntaskan cerita-kisah yang memengapkannya sepanjang beberapa bulan. Saya coba menentramkannya sebisa saya dengan menganalisa hidupnya dari beragam sudut pandang. Saya cuma dapat menjelaskan jika dia tetap untung karena diperlihatkan ketidaksetiaan pacarnya di saat mereka belum menikah, karena semakin lebih benar-benar menyakitkan bila semua itu ditemui malah saat mereka sudah menikah.

Sesudah beberapa saat kita mengulasnya, Tia kelihatan telah cukup tenang. “Thanks Ryo, kamu ingin menjadi tempat sampah Tia”, ucapnya sekalian sedikit tersenyum.
“That what friends are for”, jawab saya singkat sekalian menepuk-nepuk kepalanya seperti ke seorang anak kecil, walau sebenarnya ia tiga tahun lebih tua dibanding saya, hehehe..pamali tau…!!

Saya duduk lesehan di karpet bersandarkan pada pinggir tempat tidur sekalian luruskan kaki. Hhmmm..sedap duduk posisi seperti begini. Sesaat kemudian Tia susul turun dari bangku dan gabung duduk pada sikap lesehan di sampingku. Sepertinya sedap sekali saksikan style kamu, ucapnya saat sebelum ia susulku duduk di karpet.

“Ryo, kamu itu aneh yah ?”, mendadak suara Tia menyentakku.
“Aneh lalu bagaimanakah tujuan loe?”, bertanya saya asal sekalian tirukan sebuah diskusi film sinetron Sang Doel beberapa lalu. Hihihihi…. kedengar Tia cekikikan dengarnya.
“Ya aneh saja, Tia baru mengenal kamu ini hari, tetapi rasanya Tia sudah mengenal dengan kamu lama sekali”, ucapnya kembali, “Sampai Tia ingin sharing
dengan kamu, walau sebenarnya Tia paling jarang-jarang sharing, apalagi dengan orang yang baru mengenal”.
“Sama, Saya begitu kok Ya, jangan-jangan kita sebelumnya pernah bertemu dalam kehidupan awalnya yah ?”, jawab saya sekalian nyengir.
“Ada-ada saja kamu….”, ucapnya sekalian mendadak merebahkan kepalanya di pundak kananku. Jujur saja saya cukup kaget terima tindakannya, but rileks saja, apalagi apalah yang mungkin terjadi dari sebuah pundak untuk menyandar kepala sesaat ?

Lumayan lama kita masing-masing termenung dalam posisi ini sekalian melihat beberapa horizon langit yang disanggupi kerlap-kerlip bintang dari jendela kamarnya. Sayup-sayup kedengar dari TV rintihan Sinnead O’Connor yang sedang menyanyikan lagu legendarisnya :

…I can eat my dinner in the fancy restoran but nothing, I said nothing can take away this blue cos nothing compares, nothing compares to you…..

Perlahan-lahan saya seka rambutnya dan membulatkan tekad untuk mengecup keningnya. Tia mendangakkan kepalanya untuk melihatku. Sesaat kita sama-sama berpandangan, ah oase kenyamanan dari sorot matanya inikah yang sejauh ini saya mencari ? Mungkinkah saya temukannya cuma dalam beberapa saat saja sesudah demikian lama saya menelusurinya entahlah ke mana ? How can I be so sure about that ? dan beberapa pertanyaan yang lain kacau dalam pikiranku melalui detik untuk detik kami berpandangan. Yang saya mengetahui sesaat selanjutnya muka kita makin merapat dan sepintas saya menyaksikan Tia tutup matanya dan pada akhirannya saya kecup halus bibirnya.

Kami berciuman seolah-olah kami sepasang pacar yang sudah lama tidak bertemu. Menumpahkan semua kangen dalam kehangatan sebuah kecupan. Perlahan-lahan saya capai pinggang Tia dan mendudukkannya dalam pangkuan. Sekarang kami makin dekat karena Tia saya peluk dalam pangkuan saya. Saya seka halus rambutnya, dan ia menggenggam halus pipiku. Kecupan bibirnya makin dalam, seolah sebelumnya tidak pernah ia bebaskan.

Lumayan lama kami berciuman, kadang-kadang kedengar tarikan napas Tia yang didengar demikian halus. Pada akhirnya saya membulatkan tekad untuk memulai turunkan bibir ke lehernya.
“Ugh…”, cuma kedengar lenguhan halus seorang Tia saat dia mulai rasakan hangatnya bibir saya menelusuri lehernya.

Tidak ada perlawanan dari tindakan yang saya kerjakan. Tia malah semakin mendangakkan kepalanya, makin memperlihatkan lehernya yang putih dan tingkatan. Ke-2 tanggannya meremas seprai tempat tidur sebagai sandaran. Saya juga makin terbawa terikut situasi. Saya perlakukan Tia selembut mungkin, menelusuri milimeter untuk milimeter lehernya, menyeka rambutnya dan semakin mengutamakan punggungnya ke badanku.
“Ryo…oohh…”, lenguh Tia saat ia mengetahui terlepasnya satu demi satu kancing bajunya. Ya…saya memang melepasnya untuk meneruskan cumbuan saya padanya. Jilatan-jilatan halus mulai menjalari dada Tia, bersamaan bertambahnya keinginan manusiawi pada diri
kami.

Dengan sekali pergerakan, saya bisa menggendongnya. Kami teruskan percumbuan dalam posisi berdiri dengan Tia dalam gendongan. Tangannya mulai meremasi rambutku. Pelan-pelan bajunya jatuh terhempas ke karpet, tersisa sisi atas badan Tia yang tinggal berbalutkan satu helai bra putih. Sesaat kami bercumbu dalam posisi ini, hingga kemudian saya merebahkannya di tempat tidur. Kedengar suara Donita, pembawa acara MTV Asia, akhir kali saat sebelum saya raih knop off TV yang berada di buffet samping tempat tidur. Ini kali situasi betul-betul senyap, cuma tarikan napas kami berdua yang repot bercumbu. Tia berusaha untuk melepas satu demi satu kancing bajuku sampai pada akhirnya dia sukses melepasnya, nyaris bersama saat saya sukses melepas bra-nya.

Kami melanjutkan pergumulan, tetapi sebuah hati aneh menyelusup ke hatiku. She’s different, pikirku. Jujur saja, saya beberapa kali sudah alami sexual intercouse, juga dengan beberapa orang yang barusan saya mengenal. Tetapi ini kali berasa berlainan. Ada hati yang lain menemani gairah yang naik-turun, sedemikian dahsyatnya hingga gairah tersebut jadi tak berarti kembali kehadirannya. Sayang…., yah mungkin berikut yang disebutkan hati sayang itu, suatu hal yang telah lama tidak saya rasa kehadirannya. Ini membuatku ingin perlakukannya seindah dan selembut mungkin. Tia tidak cuma seorang yang isi sebuah set pemuasan gairah manusiawi dalam hidupku. Ia berlainan, she deserves the best…!!

Kedengar kembali lenguhan Tia saat saya mulai mengulum buah dadanya. Ini kali kedengar lebih keras dari sebelumnya. Mungkin keinginan itu sudah penuhi kepalanya. Jilatan-jilatan diselipin gigitan-gigitan kecil landing disekitaran putingnya, berulang-kali membuat berjingkat kaget. Saya melanjutkan cumbuan saya ke perutnya, sampai pada akhirannya sukses melepaskan celana panjangnya ke karpet. Saat ini terpajang panorama yang mustahil saya melupakan, seorang Tia yang baru saya mengenal ini hari, rebah dengan berbalutkan celana dalam. Untuk pertamanya kali saya melihat seorang wanita pada keadaan semacam ini tidak dengan gairah yang kuasai. Demikian berasa bagaimana saya memang mengasihi dan inginkannya. Matanya yang melihat halus ke arahku, mendatangkan banyak sekali kenyamanan, suatu hal yang tetap saya mencari sejauh ini dari diri seorang wanita.

Sekarang saya mengulum pusarnya, bersamaan lenguhan-lenguhan kecil yang didengar dari bibirnya. Perlahan-lahan saya mulai turunkan kain paling akhir yang melekat dalam tubuh Tia. Kedengar sedikit suara kaget Tia saat saya mulai turunkan centi untuk centi celana dalamnya telusuri ke-2 kakinya sampai lepas entahlah ke mana. Bersamaan itu juga, saya mulai turunkan jilatan ke selangkangannya. “Ryo…mau ngapain…, uugghh…”, pertanyaan yang mencoba disodorkan Tia tidak bisa diakhirinya demikian dirasanya sebuah jilatan landing di organ kewanitaannya. Permainan lidahku pada lubang kewanitaannya memang saya upayakan selembut mungkin, sampai kadangkala cuma sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya. Tetapi ini justru malah memacu reaksi Tia makin kebakar. “Ohhh….Ryooo…”, lenguhnya panjang disertai napasnya yang makin tidak teratur.

Hisapan dan jilatan silih ganti saya kerjakan secara penuh kehalusan kepadanya, sampai pada akhirannya kedengar Tia seperti dekati pucuknya. “Aaahhh……”, jeritnya panjang sekalian menghentakkan badannya ke atas saat pucuk itu tiba menerpanya, menggulungnya pada suatu kesan keelokan yang melenakan dan menghempasnya ke jurang kepuasan yang demikian dalam.

Sekarang saya melihat mukanya. Matanya yang terpejam sekalian menggigiti bibirnya sendiri dan tangannya yang mencengkeram seprai di pinggiran tempat tidur dengan kuat dan napasnya yang tidak teratur cukup buat ekspresikan begitu tingginya Tia terlena dalam gelombang orgasme yang barusan dilewatinya. Saya diamkan Tia meregang dianya dalam detik untuk detik pucuk kepuasan yang barusan didapatkannya untuk sibukkan diri cari sebuah benda yang “lubricated with nonoxynol 9, for greater protection” (If you were a great CCS fan, you should know this thing) yang selalu disisipkan di dompetku (my friend said that only bastards always bring this thing around. Yeah…maybe I’m the one of them).

Tia baru buka matanya saat dirasanya sebuah benda melekat halus pada bibir organ kewanitaannya. Dibukanya matanya melihat halus ke mukaku yang pas ada di depan mukanya. “Tia, may I….?”, bisikku sekalian mengecup keningnya. Tia cuma mengedipkan ke-2 matanya sekali sekalian masih tetap melihatku. That’s enough for me to know the answer of this question.

Pelan-pelan saya pencet kejantananku menerobos lubang kewanitaannya. So gentle and smooth. Kedengar napas Tia ketahan di kerongkongannya, nikmati kesan mili untuk mili penetratif yang dilaksanakanku padanya, sampai pada akhirnya kesemuaannya tenggelam utuh. Kami termenung dan sama-sama berpandangan sesaat, nikmati berpadunya raga (dan hati) kami berdua. Saya kecup bibirnya halus sebelum akan memulai melenakannya pada sebuah persetubuhan yang cantik. Saya masih ingat sama persis, bagaimana ke-2 tangan kami sama-sama bergenggaman kuat disebelah pinggir tempat tidur saat kami terus bergumul menjadikan satu keinginan dan raga kami. Begitu halus buah dadanya menekan dadaku, dan begitu hangat melingkupi kejantananku yang tetap memompanya, bawa kami makin tinggi terlena kepuasan duniawi.

Entahlah berapakah lama kondisi ini berjalan, saat pada waktunya kedengar Tia mulai dekati orgasme ke-2 nya. Tangannya merengkuh bahuku, dekap badanku kuat seolah ingin ajakku turut dalam gelombang orgasmenya. Napasnya semakin mengincar, kedengar terang dalam telinga kananku. Saya juga tingkatkan kecepatan penetratif untuk menolongnya memperoleh pucuk ke-2 kalinya.
“Eeegghhh….Ryooo… …aahhh..”, jerit Tia ketahan coba menyebutkan namaku saat gelombang orgasme ke-2 nya betul-betul tiba menggulungnya, menelannya lagi ke jurang kepuasan yang dalam.

Saya hentikan pergumulan kami sesaat, memberikannya peluang untuk atur lagi napasnya sehabis melalui pucuknya yang ke-2 . Saya cuma memberi senyum dan ciuman halus di keningnya saat pada akhirannya Tia mulai buka matanya.

“You’re so lovely tonight”, bisikku kepadanya.
“Ryoo…eh.. !!”, teriaknya sedikit kaget saat mendadak saya menarik ke-2 tangannya untuk selanjutnya mendudukkannya dalam pangkuanku. Punggungku bertumpu di kepala tempat tidur, dan muka kami sama-sama melihat. Kami berciuman lagi. Perlahan-lahan kuangkat badannya, untuk mengutamakan lagi kejantananku pada lubang kewanitaannya. Meskipun kami sedang berciuman, sempat kudengar erangan lirihnya saat Tia rasakan bagaimana kejantananku perlahan-lahan menusuk badannya.

Ini kali kubiarkan Tia menggenggam kendalian. Kubiarkan bagaimana dengan bebasnya Tia memompa diriku. Bahuku jadi sandaran olehnya untuk selalu menaik-turunkan badannya di atasku. Saya cuma menolongnya ddngan meremas buah pinggulnya dan sedikit meningkatkan posisi selangkanganku, sampai batangku berasa semakin saat menusuknya.

Ahh….benar-benar sesuatu panorama yang tidak terlewatkan bagaimana menyaksikan dianya terus menjadikan satu raga kami ke sesuatu persetubuhan yang intim. Matanya yang terpejam, rambut sebahunya yang mulai dibasahi keringat tergerai bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan badannya yang bergetar-guncang. ….Ughh…, It’s really a loveable thing to see.

Panorama yang melenakan ditambahkan kehangatan yang semakin kuat menekan kejantananku, menit untuk menit mulai membuaiku ke kesan kepuasan sebuah persetubuhan. Berasa suatu hal mendesak, menekanku untuk keluar dalam badanku. Oh My God, I think I’m gonna cum.., pikirku.
“Ryooo….I’ m almost there…”, bisik Tia lirih sekalian percepat pergerakan badannya memompaku.
“Yes…babe, me too…”, jawabku sekalian mengecup kuat bibirnya.

Seterusnya berasa bagaimana gelombang ke arah pucuknya seolah berlomba dengan gelombang ke arah pucukku. Guncangan badannya semakin berasa mendesak cairan kejantananku untuk keluar, sedangkan tikaman batangku
makin mendatangkan kesan kepuasan sesuatu orgasme yang cuma
tinggal sejengkal dari raihannya.
“Aaahhhh…Ryooo. …”, jeritnya lirih panggil namaku saat rupanya gelombang orgasme terlebih dulu menyapanya. Saya sempat melanjutkan tikaman kejantananku seringkali sampai pada
akhirnya…
“Tiaaaa…., I’m cummiiinngg. …!!”, teriakku sekalian dekap kuat badannya. Berasa bagaimana derasnya cairanku menyemburkan keluar. Fortunately I use condom, sempat diriku berpikiran di antara gulungan ombak ejakulasi yang menenggelamkanku pada suatu kesan kepuasan yang hebat.

Pada beberapa waktu di depan kami cuma sanggup berpelukkan kuat, untuk selanjutnya bersisian rebah di tempat tidur. “Thanks honey, you’re so great…”, bisikku sekalian mengecup halus bibirnya.
“Ahh…Ryo…”, lirih suaranya kedengar, seolah ingin menjelaskan hal yang masih sama kepadaku.

Bandung, 12 Oktober 2000, 01.42 WIB

Kelihatan bagaimana lengangnya perempatan jalan Tamblong yang menggunting Jalan Asia Afrika di bawah sana. Cuma trafik light yang mengerjapkan sinar kuningnya yang mengisyaratkan ada kehidupan di situ. Kadang-kadang lewat mobil angkutan kota yang bekerja sepanjang 24 jam ke arah terminal Kebon Kelapa. Kami cuma duduk melihatnya tanpa banyak berbicara. Kugenggam kuat Tia dalam pangkuanku, melihat keheningan tanpa satu helai benangpun yang menempel di badan kami. Kadangkala kudengus halus telinga Tia, yang sering kali disertai desahan manjanya. Ah..begitu romantisnya, melihat sinar lampu melalui larut malam tanpa selembar busanapun yang menempel. Tidak berasa telah lebih dari 1/2 jam kita berdua terheran melihat jalanan semenjak gelombang orgasme itu menelan kami berdua dan menenggelamkan sampai ke dasarnya.

“Ryo, Tia ingin mandi rasanya”, mendadak suara Tia mengagetkanku.
“Ya sudah sana mandi”, jawabku, “Eh pintunya jangan digembok yah, siapa tahu nanti saya ingin nyusul”, godaku kembali.
“Huuh…maunya” , sahut Tia manja sekalian menjentikkan telunjuknya di hidungku dan berakhir lenyap dibalik pintu kamar mandi.

Seterusnya saya cuma termenung, meneruskan lamunanku sendiri. Ingat begitu beberapa saat lalu saya sudah lewat sebuah sexual intercouse yang cantik. Ini kali benar-benar berlainan rasanya, halus dan melenakan. Benar-benar lebih cantik dibanding pengalaman- pengalaman sebelumnya, dengan sejumlah wanita yang sebelumnya sempat datang dalam malam-malamku. Entahlah kenapa mendadak muncul kemauanku selalu untuk bersisihan dengan Tia. Cuma beberapa saat dia meninggalkan (dan itu juga cuma untuk mandi), rasa kehilangan itu telah datang dalam benakku.

Tanpa kusadar sudah kulangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk susul Tia. Krek…terdengar perlahan suara handle pintu kamar mandi yang kuputar. Hmm…ternyata memang Tia tidak mengamankannya, wah bandel nih anak, pikirku. Perlahan-lahan kubuka pintu untuk selanjutnya memperoleh sesuatu panorama yang mempesona. Kelihatan samar-samar dari belakang bagaimana Tia sedang nikmati pancuran air dari shower yang mencuci halus badannya. Kaca penutup shower merintangi pandanganku karena sudah tertutup uap dari air hangat yang Tia pakai. Entahlah kenapa panorama yang tersamar ini menghidupkan lagi nafsuku. Berasa bagaimana kejantananku mulai memperlihatkan reaksinya.

Perlahan-lahan kubuka pintu kaca shower untuk selanjutnya dekap badan Tia dari belakang. “Hei….!!”, hebat Tia kaget sebentar mengetahui ada orang yang lain ada dalam kotak showernya.

“It’s me honey…”, kataku menentramkan sekalian landingkan kecupan terus-menerus ke leher belakangnya.
“Ughh…Ryo…”, lenguh Tia pendek. Terus kudaratkan kecupan terus-menerus ke badannya. Terkadang di leher belakangnya, terkadang di punggungnya, kadangkala juga kulumat bibirnya. Kami berciuman di tengah-tengah derasnya pancuran shower yang membasahi badan kami. Ingin sekali rasanya kutikamkan kembali kejantananku dari belakang ke lubang kewanitaannya, nikmati kesan bercinta dalam suatu shower yang deras menghujani badan kami dengan beberapa butiran air.

Sesudah kurasa percumbuan kami cukup buat membuat lagi bernafsu, perlahan-lahan kutuntun batangku ke vaginanya. Sesaat berasa halus dan hangat ketika kejantananku melekat pada bibir lubang kewanitaannya, saat sebelum kuhentakkannya menerobos sampai ke pangkal batangku.

“Arrggghh… …”, jerit Tia ketahan saat dia mulai rasakan dianya sesak dipenuhi dengan tekanan kejantananku.
Saya mulai memompanya perlahan-lahan, masuk dan keluar. Tia buka ke-2 kakinya lebar sekalian ke-2 tangannya bertopang pada ke-2 keran panas-dingin pada shower. Kami bercinta lagi, bergumul dalam tekanan arus birahi yang penuhi kepala dan badan kita. Kami bersetubuh di bawah siraman kehangatan shower yang tetap menghujani badan kami tidak ada henti. Kedengar sayup-sayup gemuruh napas Tia antara derasnya suara air yang tumpah keluar shower. Kulingkarkan tangan kananku di leher Tia saat kudaratkan tangan kiriku untuk permainkan puting kanannya, sekalian tentu saja terus memompanya dari belakang.

Terus kutikamkan batangku ke lubang vaginanya tidak ada henti. Menit untuk menit berakhir, menemani persetubuhan kami yang cantik. Berasa bagaimana makin ketatnya lubang kewanitaan Tia semakin menekan kejantananku. Mendadak ke-2 tangan Tia mencapai batang shower yang terdiam pada dinding sisi atas kepalanya, mendangakkan kepalanya sambil melenguhkan erangan yang demikian menarik hati, “Ryooo…. aahhhhh….. “.

Rupanya Tia raih lagi orgasmenya yang menariknya lagi ke kepuasan yang bergulung-gulung menimpa bathinnya. Kudekap kuat badannya, mengawasinya dari kelimbungan yang bisa saja mungkin menghempasnya ke lantai marmer yang kami pijak. Sesaat masih tetap kudekap kuat badannya, sampai di saat pada akhirnya Tia mulai bisa gerakkan dirinya. Kami sesaat bertatapan, perlahan-lahan kucium halus bibirnya. “You’re wonderful, Babe”, pujiku saat ia mulai buka matanya dan melihat ke arahku.

Tia mengubah badannya dan merengkuhku kuat. Kucium kembali bibir Tia sekalian kuangkat badannya tinggalkan kotak shower tempat kami memadu gairah. Kurebahkan badannya di lantai marmer kamar mandi dengan perlahan-lahan. Kembali kuletakkan kejantananku di bibir kewanitaannya sambil perlahan-lahan mendorongnya masuk ke. Sesaat kusaksikan Tia mengigit bibirnya sendiri, seolah tengah nikmati kesan penetratif batangku ke lubang vaginanya. Kembali kupompakan kejantananku ke badan Tia, biarkan tungkainya bertumpu di bahuku untuk selanjutnya membuat kami terbang raih kepuasan duniawi secara halus dan perlahan-lahan. Terus kusetubuhi badan Tia yang terbaring di lantai, coba menyeimbangi pergerakan pinggulnya yang semakin menjepit batangku.

 

MONA4D

Artikel Bokep

Create Account



Log In Your Account